dilahirkan untuk hidup mandiri

Saya memutuskan untuk merantau, ikut Ed. Di usia akhir 18 tahun (awal 19 tahun). Sebelum lulus SMA, saya memang sudah berencana untuk hidup mandiri. Gak mau nyusahin ortu berlama lama. Hidup merantau penuh cerita. Pasti bangga kalo cerita ke anak cucu, iniloh ibu dulu meninggalkan Indonesia setelah lulus SMA. Gak bisa bahasa Inggris dengan lancar dan merantau ke English speaking country. Keterbatasan biaya dan pelit memaksa saia untuk belajar bahasa inggris sendiri lewat koran, Tv, Radio dan music. Akhir ny sekarang sudah bisa bahasa inggris layaknya orang lokal (sampe dikira lahir disini) bisa dapet pekerjaan yg rate nya bagus. Lalu, Yaph masih harus berjuang mengejar mimpi. Siapa yang akan bertanya "kamu makan apa nak hari ini?" "Kamu sehat nak?" "Apa gaji mu cukup nak?" Gak akan ada yg peduli sama gw hahaha... tapi saia bahagia masih dikasih sehat sama Sang Pencipta. Masih dikasih sabar juga. Boro boro tanya keadaan. Yang ada keluarga gw di Indonesia mikir nya gw bahagia, tajir, cebok pake dollar dan minta dikirimin bala bantuan. Padahal gw kerja udah kayak cacing kepanasan. Ditambah kolega kerja yg mengeluarkan uap panas, kertas putih kehidupan gw pun berubah menjadi abu haha... diusia yg baru 20 tahun, saia sudah dikasih pengalaman semanis madu, thanks God. Siapa yg peduli disaat gw harus jalan kaki sejauh 7 kilometer demi mencari rejeki? Siapa lagi kalo bukan malaikat pencabut nyawa. Hidup memang indah. Gak ada kata lelah, capek, cukup, mau pulang, dsb. Karena hidup adalah perjuangan. Gak berharap banyak dari orang lain, apalagi berharap pertolongan. Karena saia bahagia saat mengingat banyak ny kerikil kehidupan yg saia lalui SENDIRI, iyah! Sendiri. Masalah, ujian dan cobaan mengajarkan saia untuk hidup mandiri, tahan banting dan kuat untuk mempersiapkan diri saya untuk masalah dan ujian yg lebih besar di tingkat kehidupan yg lebih tinggi. Hidup mandiri itu enak. Gak nyusahin orang, gak digossipin dan lebih dihargain.